Senin, 21 September 2015

KONSEP AKAD DALAM FIQH MUAMALAH

Standard
KONSEP AKAD DALAM FIQH MUAMALAH


A. Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Begitupun dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah masalah akad (perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam syariat Islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya. Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 1 menyebutkan:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. 
Dalam ayat ini ahli tafsir memberikan penjelasan bahwa Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.



B. Pengertian Akad
Secara literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu عَقَدَ يَعْقِدُ عَقْدًا yang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ). Menurut para ulama fiqh, kata akad didefenisikan sebagai hubungan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang ditetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan Pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan. 
Akad (ikatan,keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat dartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah.
Dalam istilah fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan bik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai.
Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh kepada sesuatu.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dimksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan hukum tertentu.

C. Rukun Akad
Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Rukun akad tersebut adalah: 
1. Aqid (Orang yang Menyelenggarakan Akad)
Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain :
a) Ahliyah 
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
b) Wilayah 
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2. Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)
Ma'qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
• Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
• Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara' untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
• Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari. 
• Adanya kejelasan tentang obyek transaksi. 
• Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3. Shighat, yaitu Ijab dan Qobul 
Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima.
Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut : 
• adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak. 
• Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul 
• Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
• Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila : 
• penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
• Adanya penolakan ijab dari si pembeli. 
• Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal. 
• Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
• Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.

D. Syarat Akad
Disamping rukun, syarat juga harus terpenuhi agar akad itu sah. Adapun syarat-syarat itu adalah: 
1. Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara'. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah: 
• Pelaku akad cakap bertindak (ahli). 
• Yang dujadikan objek akad dapat menerima hukumnya. 
• Akad itu diperbolehkan syara'dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang. 
• Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah. 
• Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul. 
• Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal.
Sedangkan syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi(tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
2. Syarat Pelaksanaan akad 
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara'.
3. Syarat Kepastian Akad (luzum) 
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan.

E. Macam-Macam Akad
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasai jenis-jenis akad. Secara garis besar adapun pengelompokan macam-macam akad, anatara lain: 
1. Akad menurut tujuannya:
1.1. Akad Tabarru, yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT. Atau dalam redaksi lain akad Tabarru (gratuitous countract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut nonprofit transaction (transaksi nirlaba). Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra’, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad.
1.2. Akad Tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah telah dipenuhi semuanya. Atau dalam redaksi lain akad Tijari (conpensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiyah bittamlik serta mudharabah dan Musyaraqah.
2. Akad menurut keabsahannya:
2.1. Akad Sahih (Valid Contract) yaitu akad yang memenuhi semua rukun dan syaratnya. Akibat hukumnya adalah perpindahan barang misalnya dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual.
2.2 Akad Fasid (Voidable Contract) yaitu akad yang semua rukunnya terpenuhi, namun ada syarat yang tidak terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi syarat tersebut. Dengan kata lain akibat hukumnya adalah Mauquf (terhenti dan tertahan untuk sementara).
2.3. Akad Bathal (Void Contract) yaitu akad dimana salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan otomatis syaratnya juga tidak dapat terpenuhi. Akad sepeti ini tidak menimbulkan akibat hukum perpindahan harta (harta/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.
3. Akad menurut namanya:
3.1. Akad bernama (al-u’qud al-musamma)
Yang dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad yang lain. Para fukaha berbeda pendapat tentang jumlah akad bernama. Salah satu contoh menurut al-Kasani (w 587/1190) akad bernama meliputi sebagai berikut:
• Sewa menyewah (al-ijarah)
• Pemesanan (al-istisnha)
• Jual beli (al-bai’)
• Penanggugan (al-kafalah)
• Pemindaan utang (al-hiwalah)
• Pemberian kuasa (al-wakalah)
• Perdamaian (ash-shulh)
• Persekutuan (asy-syirkah)
• Bagi hasil (al-mudharabah)
• Hibah (al-hibah)
• Gadai (ar-rahn)
• Pengarapan tanah (al-muzaraah)
• Pemeliharaan tanaman (al-mu’amalah/al-musaqah)
• Penitipan (al-wadi’ah)
• Pinjam pakai (al-‘ariyah)
• Pembagian (al-qismah)
• Wasiat-wasiat (al-washaya)
• Perutangan (al-qardh)
3.2. Akad tidak bernama (al-‘uqud gair al-musamma)
Akad tidak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu. Dalam kata lain, akad tidak bernama adalah akad yang tidak ditentukan oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Contoh akad tidak bernama adalah perjanjian, penerbitan, periklanan, dan sebagainya.
4. Akad menurut kedudukannya:
4.1. Akad Pokok (al-‘aqd al-ashli) adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. Seperti: akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya.
4.2. Akad asesoir (a-‘aqd at-tabi’) adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. Seperti: penanggungan (al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn).
5. Akad dari segi unsur tempo di dalam akad:
5.1. Akad bertempo (al-‘aqd az-zamani) adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Seperti: akad sewa-menyewa, akad penitipan, akad simpan pakai, dan sebagainya.
5.2. akad tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri) adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.
6. Akad dari segi formalitasnya:
6.1. Akad konsensual (al-‘aqd ar-radha’i)
Akad konsensual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada kesepkatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Yang termasuk akad konsensual seperti jual beli, sewa-menyewa, dan utang piutang.
6.2. Akad formalitas (al-‘aqd asy-syakli)
Akad formalitas adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh pembuat akad, apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah. Misalnya adalah akad di luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu akad nikah dimana diantara formalitas yang disyariatkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.
6.3. Akad riil (al-‘aqd al-‘aini)
Akad riil adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan. Ada lima macam akad yang termasuk dalam kategori akad jenis ini, yaitu hibah, pinkam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad gadai. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah hukum Islam yang menyatakan ”Tabaru’ (donasi) baru terjadi dengan pelaksanaan riil” (la yatimmu at-tabarru’ illa bi qabdh)
7. Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’:
7.1. Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak dilarang untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa menyewa, mudharabah, dan sebagainya.
7.2. Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jual beli janin atau akad yang bertentangan dengan ahlak Islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti sewa menyewa untuk melakukan kejahatan.
8. Akad menurut dari mengikat dan tidak mengikatnya:
8.1. Akad mengikat (al-‘aqd al-lazim) adalah akad dimana apabila semua rukun dan syaratnya telah terlaksana maka akad tersebut akan mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa perssetujuan pihak lain. Akan ini dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu: Pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkan tanpa persetujuan pihak pertama seperti akad kafalah (penanggungan) dan akad gadai (ar-rahn).
8.2. Akad tidak mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat (terbuka untuk di-faskh), seperti akad Wakalah(pemberi kuasa), syirkah (persekutuan) dan sebagainya. (2) akad yang tidak mengikat karena didalamnya terdapat khiyar bagi para pihak.
9. Akad menurut dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan:
9.1. akad Nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut tersebut.
9.2. akad Mauquf adalah kebalikan dari akad nafiz, yaitu akad yang tidak dapat secara langsung dilaksankan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, tetapi masih tergantung (mauquf) kepada adanya retifikasi (ijasah) dari pihak berkepentingan. 
10. Akad menurut tanggungan:
10.1. ‘aqd adh-dhaman adalah akad yang mengalihkan tanggungan resiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut, sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.
10.2. ‘aqd al-‘amanah adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut merupakan amanah dari tangan penerima barang tersebut, sehingga dia tidak berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesegajaan dan melawan hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, akad pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).

F. Cacat Akad
Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut : 
1) Paksaan / Intimidasi (Ikrah)
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.
Suatu kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu :
• Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya.
• Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.
• Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat.
• Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk melindungi dirinya.
Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap kontrak yang dilakukan. Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah dan menurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.
2) Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal :
• Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga.
• Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. 
3) Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya.
Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni :
• Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.
• Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi keridaan tapi bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini adalah batil.
4) Penipuan (al-Khilabah)
Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil tidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh.
5) Penyesatan (al-Taqrir)
Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang disangkanya menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh.

G. Kedudukan Akad
Dalam fiqh muamalah akad memiliki kedudukan sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari definisi-definisi akad atau kontrak diantaranya :
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Yang dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).
Selanjutnya definisi akad yang dikutip oleh Symasul Anwar yakni, “Pertemuan ijab (penawaran) yang datang dari salah satu pihak dengan Qabul (akseptasi) yang diberikan oleh pihak lain secara sah menurut hukum yang tampak akibatnya pada obyek akad.” 
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu; Tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.
Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi dua macam yakni : 
a). Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul. 
b). Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang menggugurkan suatu hak, tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di pengadilan, pengakuan di depan sidang.
Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh karena itu setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.
Menurut Taufiq dalam uraiannya sama dengan Az Zarqa tersebut, yakni Tindakan hukum (tasharruf) adalah semua yang timbul dari seseorang yang berasal kehendaknya, baik berupa perbuatan, maupun perkataan yang mempunyai akibat hukum.
Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni : 
a) Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang halal, menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran hutang, menerima barang yang dijual dan lain-lain.
b) Tindakan hukum yang berupa perkataan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
• Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi dan jual beli.
• Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf, talak dan pembebasan kewajiban.
Dari uraian tersebut dimuka bahwa tindakan hukum lebih luas daripada akad dan perikatan sebab tindakan hukum mencakup perbuatan, mencakup perkataan dan juga mengikat dan tidak mengikat. Oleh karena akad merupakan bagian dari tindakan hukum, tindakan yang berupa perkataan tertentu, maka yang lebih khusus tunduk kepada pengertian umum, tidak sebaliknya. Maka setiap akad adalah tindakan hukum dan tidak sebaliknya.
Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa dengan Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta’athi (beri memberi).
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.

H. Berakhirnya Akad
Berakhirnya akad bisa juga disebabkan karena fasakh, kematian ataukarena tidak adanya izin pihak lain dalam akad yang mauquf: 
a) Berakhirnya akad karena fasakh
Yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni :
• Fasakh karena fasadnya akad
Jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harusdifasakhkan baik oleh pihak yang berakad maupun oleh putusan pengadilan atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanyahal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti akad rusak.
• Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis,yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan pengadilan.
• Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal.
• Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barangdalam batas waktu tertentu.
• Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir atautujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.
b) Berakhirnya Akad Karena Kematian
Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut;
• Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut jumhur fuqahaselain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.
• Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang). Jika pihak penggadai meninggal maka barang gadai harus dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang, makakematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah, dilakukan pelunasan hutangnya.
• Syirkah dan wakalah. Keduanya tergolong akad yang tidak lazimatas dua pihak. Oleh karena itu, kematian seorang dari sejumlahorang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah. Demikian juga berlaku pada wakalah.
c) Berakhirnya Akad Karena Tidak adanya izin pihak lain.
Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenangtidak mengijinkannya dan atau meninggal.

0 komentar:

Posting Komentar